Senin, Maret 25, 2013

Status Facebook





-- "Di Irian SEKOLAHnya ada,, tapi GURUnya tidak ada" Di Indonesia tiap tahun nglulusin mahasiswa fak keguruan ribuan orang... Kiro2 sing do lulus nyambut gawene opo yo pak?? Kok eneng crito sekolah ra eneng gurune.. Do bakul siomay opo yaaa.. ^^ --

Apa yang anda pikirkan jika anda menjumpai status tersebut di timeline facebook anda? Ya, itu adalah salah satu status teman saya yang tak sengaja terbaca oleh saya. Awalnya saya hanya me-like status tersebut, karena cukup menarik memang. Tapi setelahnya saya kepikiran terus, sampai saya susah tidur dibuatnya. Kenapa saya kepikiran terus? Karena ada kata-kata yang menggelitik saya “Kok eneng crito sekolah ra eneng gurune.. Do bakul siomay opo yaaa” Sakit rasanya.


Sebelumnya saya jelaskan dulu mengenai diri saya, saya adalah mahasiswa dari fakultas keguruan di salah satu perguruan tinggi di Solo. Jadi sedikit banyak saya tahu permasalahan pendidikan yang terjadi di berbagai wilayah pelosok Indonesia, seperti halnya yang ditulis dalam status teman saya ini. Sehingga saya kira wajar jika saya merasa sedikit tersinggung atas kata-kata tersebut. Awalnya saya berusaha menghibur diri, “Itu kan hanya pemikiran orang yang sudah mapan dan sejak kecil lahir di Jawa.” Begitu pikir saya. Apa sih maksudnya, dari anda banyak yang bingung dengan kata-kata itu. Ya maksudnya orang yang sudah mapan dan sejak lahir hidup di Jawa itu ya dia taunya uda mapan aja, semua tersedia. Aduh, sulit saya menjelaskan. Jadi begini itu sama seperti halnya perbedaan pandangan dari orang Jakarta dan orang Pacitan. Dalam mengajarkan tentang lembaga negara, jika orang Jakarta berpandangan anak SD itu harus tahu mengenai DPR, MA, KPK, dsb, karena lembaga tersebut ada di Jakarta, tapi mereka juga tidak bisa mengharuskan orang Pacitan untuk tahu hal yang sama. Dalam mengajarkan tentang lembaga negara orang Pacitan hanya perlu tahu tentang kelurahan, kecamatan, dan lembaga negara setingkat desa sampai kabupaten yang ada di daerahnya, tidak perlu harus tahu KPK, DPR, MA, dsb. Karena ya buat apa, toh itu tidak terlalu berpengaruh terhadap mereka. (tapi pada kenyataan kurikulum SD memang harus mengenal lembaga negara tersebut, tidak harus di kota maupun di desa)


Balik ke topik awal, dari situ saya bisa agak meredam emosi saya, tapi tetap saja tangan saya ini gatal untuk tidak berkomentar di status tersebut. Bukan apa-apa, tapi saya takut berlebihan dalam berkomentar sehingga menimbulkan hal yang tidak baik nantinya. Namun akhirnya saya tulis komentar saya, dan terjadilah debat disana.


Saya hanya kecewa dia bisa berpandangan seperti itu, permasalahan pendidikan itu bukan sebatas kesalahan pada guru maupun lulusan keguruan. Permasalahan pendidikan seperti digambarkan diatas adalah sangat kompleks. Jika kami mampu pun kami ingin sekali menjadi pahlawan yang mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengabdikan diri kami untuk mereka. Akan tetapi walaupun kami mau, akses dan kesempatan tidak semudah yang banyak orang bayangkan, belum lagi kesenjangan ras, dimana banyak orang Jawa yang kurang diterima di daerah penerima. Untuk SM3T saja yang mendaftar dari perguruan tinggi saya banyak sekali, tapi yang lolos hanya 5-10 orang. Selanjutnya, apa sih salahnya penjual somay yah, masa lulusan keguruan jika dibandingkan dengan penjual somay jadi terasa lebih rendah gitu. Padahal enggak masalah menurut saya jika lulusan keguruan jadi tukang somay. Setiap orang saya rasa pengen hidup sejahtera, sedangkan jadi guru, awal-awal pendapatan mereka sangat kecil, untuk sekedar mencukupi kehidupan sehari-hari.


Dari sini saya cuma pengen aja, ayolah berpikir lebih luas lagi dari yang sekedar kita tahu, juga marilah jaga bicara kita, dan saya juga belajar dari yang pintar menjaga bicara. Saya belajar bahwa ada perkataan yang mestinya cukup disimpan sendiri daripada nantinya menyakiti orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar